1. Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermitten, anemia, dan hepato-splenomegali. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan darah tepi (apusan tebal atau tipis) untuk konfirmasi adanya parasit Plasmodium.
2. Epidemiologi
Malaria terjadi di sebagian besar daerah tropis di dumia. Plasmodium Falciparum lebih banyak terdapat di Afrika, New Guinea, dan Haiti; Plasmodium vivax lebih umum ditemukan di Amerika Tengah. Prevalensi kedua spesies ini rata-rata sama antara di Amerika selatan, Negara bagian Amerika, Asia timur, dan kepulauan Oceania.
Epidemiologi malaria bersifat kompleks dan bisa sangat besar didalam area geografi yang sempit. Secara klasik endemis didefinisikan dalam istilah of parasitemia rates atau secara palpasi dinyatakan sebagai spleen rates pada anak-anak usia 2–9 tahun sebagai hipoendemik (<10%), mesoendemic (11–50%), hiperendemik (51–75%), and holoendemik (>75%). Di daerah holoendemik dan hiperendemik dimana transmisi P. falciparum sangat hebat sekali, orang kemungkinan bisa tergigit nyamuk lebih banyak dalam sehari dan terinfeksi secara berulang kali dalam hidupnya.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih beresiko malaria karena sampai 2007 masih terdapat 396 kabupaten (80 persen) endemis malaria. Pada 2008 terdapat 1,62 juta kasus malaria klinis dan 2009 menjadi 1,14 juta kasus, selain itu jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop terdapat kuman malaria) pada 2008, 266 ribu kasus dan masih 199 ribu kasus pada 2009.
Pada tahun 2010, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengingatkan bahwa 424 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada merupakan endemis malaria. Sekitar 45 persen penduduk Indonesia berisiko tertular penyakit malaria. Jumlah tersebut diperkirakan karena masih banyaknya daerah endemis untuk malaria di Indonesia.
Menurut Menkes Siti Fadilah, daerah endemis tinggi dengan “Annual Parasite Incidence” [API] lebih dari lima per seribu tersebar di provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur. Sedang wilayah di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Jawa Barat termasuk daerah endemis sedang dengan API satu hingga lima per seribu. Hanya sebagian daerah di Jawa, Kalimantan dan Sulawesi yang termasuk daerah endemis rendah dengan API kurang dari satu per 1000 sementara daerah nonendemis hanya ada di DKI Jakarta, Bali dan Kepulauan Riau.
3. Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus Plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu P. vivax menimbulkan malaria vivax disebut juga sebagai malaria tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. P. ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum menyebabkan malaria falsiparum atau malaria tropika.
Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi campuran/majemuk (mixed infection). Pada umumnya dua jenis Plasmodium yang paling sering dijumpai yaitu campuran antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae. Kadang dijumpai tiga jenis plasmodium sekaligus tapi hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka penularan tinggi. Akhir- akhir ini di beberapa daerah dilaporkan kasus malaria yang telah resisten klorokuin, bahkan juga resisten terhadap pirimetamin-sulfadoksin.
Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak-anak yang berumur beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang berat, bahkan tertian dan kuartana dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dengan gangguan gizi
Malaria dapat ditularkan melalui penularan (1) alamiah (natural infection melalui gigitan nyamuk anopheles, (2) penularan bukan alamiah yaitu malaria bawaan (congenital) dan penularan secara mekanik melalui transfuse darah atau jarum suntik. Sumber infeksi adalah orang yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
Nyamuk Anopheles menyukai air yang bersih dan tidak terpolusi, ritme gigitan – menggigit pada malam hari dan beristirahat di dalam dan luar ruangan (tergantung pada spesies). Selain itu, lebih menyukai warna yang lebih gelap. Nyamuk betina dengan satu makanan darah dapat membuahkan 50 – 150 butir telur. Anopheles spp. memiliki morfologi sebagai berikut:
• Dewasa – Bercak pucat dan gelap pada sayapnya dan beristirahat di kemiringan 45 derajat suatu permukaan.
• Larva beristirahat secara paralel dengan permukaan air.
• Panjang telur kurang-lebih 1 mm dan memiliki pelampung di kedua sisinya.
Tahapan telur menjadi dewasa membutuhkan 6 – 10 hari. Metamorfosis sempurna meliputi tahap telur, larva, kepompong, dan dewasa.
Perbedaan Nyamuk anopheles dengan nyamuk lainnya
4. Siklus Hidup Plasmodium
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan nyamuk anopheles betina.
4.1 Siklus Pada Manusia
Pada waktu nyamuk anopheles infektif mengisap darah manusia, sporozoit yang berada dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang memjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh).
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus inilah yang disebut dengan siklus eritrositer. Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang meninfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual yaitu gametosit jantan dan betina.
4.2 Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina
Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot ini akan berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Di luas dinding lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit yang nantinya akan bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.
Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam bervariasi, tergantung dari spesies Plasmodium. Sedangkan masa prepaten atau rentang waktu mulai dari sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik.
5. Patogenesis Malaria
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan. Plasmodium berikatan dengan glikoporin, suati protein membrane eritrosit. Eritrosit terinfeksi plasmodium bergantung pada kemampuan plasmodium dan pengaruh protein knobs. Adanya ikatan antigen dengan glikoporin merangsanga antibody, antibody ini bekerja dalam sel.
Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler. Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit, seperti membran dan isi sel-sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam system retikuloendotelial dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah.
Parasit malaria melepaskan semacam endotoksin yang mengakibatkan aktivasi jaras sitokin. Sel-sel dari makrofag dan monosit juga mungkin endothelium terstimulasi untuk melepaskan sitokin. Pada awalnya dihasilkan “ tumor necrosis factor” (TNF) dan interleukin-1 (IL-1) yang kemudian menginduksi pe;epasan sitokin-sitokin proinflamatoris ;ain termasuk interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-8(IL-8). Pirogen endogen (IL-1) dapat diidentifikasi dalam darah pada saat terjadi krisis malaria. Pecahnya eritrosit juga diikuti pelepasan kalium, fosforilasi glukosa, proses oksidasi hemoglobin, rusaknya globin. Juga terjadi perlekatan mekanis eritrosit yang mengandung skizon pada endothelium.
Demam mulai muncul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan bermacam-macam sitokin diantaranya TNF. TNF akan dibawa ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Proses skizogoni pada keempat plasmodium memerlukan waktu yang berbeda-beda, P.falciparum memerlukan waktu 36-48 jam, P.vivax/ovale 48 jam, dan P.malariae 72 jam. Demam pada P. falciparum dapat terjadi setiap hari, P. vivax/ovale selang waktu sehari, dan P. malariae demam timbul selang waktu 2 hari.
Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. P.falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis. P.vivax dan P.ovale hanya menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya 2 % dari seluruh jumlah sel darah merah. Sedangkan P.malariae menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya 1% dari seluruh sel darah merah, sehingga anemia yang disebabkan oleh P.vivax. P.ovale dan P.malariae terjadi pada keadaan kronis. Beratnya anemi tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah Black Water Fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, ditandai oleh hemolisis intravascular berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi.
Splenomegali: Limpa dapat membesar pada serangan akut. Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan. Pada titik ini, kapsul tipis dan mudah robek, dan pulpa mengalir sebagian. Sesudah beberapa tahun, kapsul menebal dan pulpa fibrotik; splenomegali menjadi ireversibel. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pembesaran limpa begitu khas untuk tujuan epidemiologis untuk menentukan indeks prevalensi, penyebaran, dan intensitas malaria. Pada malaria kronis terjadi hyperplasia dari retikulosit diserta peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa di daerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatankadar IgM. Peningkatan antibody terhadap malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis.
Hepatomegali: Hepatomegali juga lazim ditemukan pada malaria. Sel kupffer terisi dengan hemozoin coklat sampai hitam, dan sel parenkim dengan hemosiderin kuning. Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltrasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari syndrome pembesaran hati di daerah tropis.
Mungkin ada nekrosis sentrilobular yang dapat dihubungkan dengan hipoksemia. Fungsi hati biasanya tidak secara serius terganggu, walaupun bilirubin terkonjugasi, SGOT/SGPT, dan fosfatase alkali dapat meningkat. Albumin serum dapat menurun, dan hamper selalu ada peningkatan absolute globulin serum. Uji serologis positif palsu untuk sifilis lazim ada.
Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria serebral otak berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering diserang edema hyperemia. Pendarahan berbentuk petekia tersebar pada substansi putih otak dan dapat menyebar sampai ke sumsum tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopik, sebagian besar dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi eritrosit yang telah mengandung parasit dan dapat dijumpai pembekuan fibrin, dan dapat terdapat reaksi selular pada ruang perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau saluran cerna atau ditempat lain dari tubuh, yang berakibat pada berbagai manifestasi klinik.
Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah satu atau dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan atau membranoproliverative glomerulonefritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis massif dan hemoglobinuria pada black water fever tetapi dapat juga terjadi tanpa hemolisis, akibat kurangnya aliran darah karena hipovolemia dan hiperviskositas darah. P.falciparum menyebabkan nefritis sedangkan P.malariae menyebabkan glomerulonefritis kronik dan syndrome nefrotik.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting.
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P. falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset.
Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit, sehingga berbentu seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya resetting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi.
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan hipoksemia jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (black white fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal.
2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin dapat menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sndrom penyakit pernapasan pada orang dewasa.
3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka
Eritrosit yang terinfeksi dengan P.falciparum menjadi terasing dalam kapiler visceral tempat skizogoni terjadi. Pengasingan (sequestrasi) eritrosit terinfeksi P.falciparum matang dalam mikrosirkulasi tampaknya patogenetik yang penting. Diyakini bahwa eritrosit yang terinfeksi P.falciparum menjadi kurang bisa berubah bentuk dibanding sel normal; maka tidak mudah melintasi pembuluh kapiler.
Bukti penelitian menunjukkan bahwa struktur seperti benjolan, elekron-dense pada membrane eritrosit yang terinfeksi penting untuk mengarahkan ligan adhesi ke reseptor sitoadheren sel endotel seperti CD-36 dan mungkin ICAM-1, tetapi sekarang tampaknya benjolan ini tidak perlu untuk sitoadheren. Lebih jauh, protein membrane eritrosit yang terinfeksi dengan berat 270 kD yang baru ditemukan, sekuestrin, tampaknya mengikat khusus pada CD-36. Pengamatan ini menunjukkan lebih jauh bahwa CD-36 adalah reseptor utama untuk ligan parasit pada endotel vascular. Akhirnya, eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium dan membentuk gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan.
Pertama parasit dalam sel darah merah (PRBCs) menempel pada reseptor yang diekspresikan oleh sel endotel mikrovaskular di otak, diantaranya molekul adhesi intracellular 1 (ICAM1), melalui ekspresi membrane protein 1 (EMP1) pada permukaan eritrosit yang mengandung Plasmodium falciparum. Ketika merozoit dikeluarkan dari PRBCs 4 jam kemudian, glycosylphosphatidylinositol (GPI) parasit, yang mana dikeluarkan kedalam aliran darah atau nampak di membran parasit, berfungsi sebagai pathogen yang berhubungan dengan bentuk molekuler dan toksin, dengan cara demikian menginduksi respons inflamasi. Respons fase akut local kemudian terjadi, yang mana mengaktifkan produksi sitokin dan chemokin endotel dan local, dan ini hasil dari peningkatan ekspresi molekul adhesi sel endotel. Dalam waktu 24 jam kemudian, siklus ini dipertahankan dan dieksaserbasi, memperlihatkan peningkatan jumlah parasit dan ikatan PRBCs pada sel endotel yang membangkitkan ekspresi molekul adhesi.
GPI dapat juga berfungsi sebagai ligand CD1 yang dibatasi sel natural killer T (NKT), yang menyebabkan aktivasinya. Pengaktifan sel NKT dapat mengatur differensiasi sel T CD 4 menjadi sel T helper 1 (Th1) atau Th2, tergantung pada lokus kompleks natural killer yang diekspresikan sehingga teraktivasi. Ditambah lagi, chemokin membangkitkan monosit dan netrofi ( walaupun netrofiltidak diketahui menginfiltrasi mikrovaskuler otak pada sesorang dengan serebral malaria). Pengaktifan monosit dapat juga berdiferensiasi menjadi makrofag dan beristirahat di mikrovaskuler otak.
Aktivasi makrofag local menghasilkan lebih banyak chemokin, yang mana dikeluarkan secara sistemik, dengan demikian mengakibatkan penambahan infiltrasi sel, sekuestrasi PRBCs dan mengeluarkan mikropartikel. Lebih banyak mikropartikel platelet, sel endotel, dan monosit dikeluarkan, yang mana menyebabkan penyebaran pro-inflamasi dan pro-koagulan. Akhirnya, menyebabkan kerusakan endotel, kemungkinan pendarahan perivascular, jejas axonal, dan neurotransmitter dan terjadi gangguan metabolik.
6. Manifestasi Klinis
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode bebas demam (periode laten. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau satu jenis Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni stadium dingin (cold stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat (sweating stage) Paroksisme ini biasanya jelas terlihat pada orang dewasa tapi jarang dijumpai pada usia muda. Pada anak dibawah 5 tahub, stadium dingin seringkali bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi (intrinsic). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari tergantung padaspesies parasit, paling pendek pada Plasmodium falciparum dan paling panjang pada Plasmodium malariae. Masa inkubasi ini juga tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat imunitas pejamu. Pada malaria akibat transfuse darah, masa inkubasi Plasmodium falciparum adalah 10 hari, Plasmodium vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfuse. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah pada masing-masing spesies parasit, untuk Plasmodium falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari, dan Plasmodium malariae 28-30 hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar dan orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium yaitu:
Periode dingin
Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada pasien mungkin muntah dan pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
Periode demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali terjadi mual dan muntah, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu badan dapat meningkat sampai 410 C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, skizon dari tiap generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada Plasmodium malariae, demam terjadi pada 72 jam (setiap hari keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam.
grafik demam malaria |
Periode berkeringat
Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah, kemudian suhu badan menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah normal.
Gejala tersebut diatas tidak selalu sama pada setiap pasien, tergantung pada spesies parasit, berat infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk tropozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh tetentu seperti otak, hati, dan ginjal, sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah organ-organ tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang sampai gangguan fungsi ginjal. Kematian paling sering disebabkan oleh malaria jenis ini. Black watwr fever yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari Black water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti empedu. Black water fever biasanya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi Plasmodium falciparum berulang. Dengan infeksi yang cukup berat.
Didaerah yang tinggi tingkat endemisitasnya (hiper atau holoendemik), pada orang dewasa seringkali tidak dijumpai gejala klinis walaupun darahnya mengandung parasit malaria. Hal ini disebabkan imunitas yang telah timbul pada mereka karena infeksi berulang. Limpa biasanya membesar pada serangan pertama yang berat atau setelah beberapa serangan dalam periode yang cukup lama. Dengan pengobatan yang baik, limpa secara berangsur-angsur akan mengecil kembali.
Malaria tanpa komplikasi
Pada daerah hiper atau holoendemik, control malaria efektif sehingga serangan malaria akut sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara bertahap menginduksi imunitas secara aktif. Pada anak besar yang sudah mendapat imunitas, maka gejala klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi akut dapat terjadi pada anak besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau lupa minum obat saat masuk ke daerah endemis malaria. Pada daerah hipoendemik malaria,semua usia dapat terserang malaria.
Anak pada mulanya menjadi letargik, mengantuk atau gelisah, anoreksia, pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala dan mual. Demam selalu dijumpai tetapi bervariasi. Muntah, nyeri perut dan diare agak jarang dijumpai. Pembesaran hati sering dijumpai pada anak. Pada serangan akut, pembesaran hati biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (pada akhir minggu pertama) dan lebih sering terjadi daripada pembesaran limpa.
Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan progresivitas penyakit, namun fungsinya jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus dapat dijumpai pada beberap anak, terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu singkat.
Limpa yang membesar umumnya dapat diraba pada minggu kedua; pembesaran limpa progresif sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada anak yang telah mengalami serangan berulang, limpa dapat sangat besar dengan konsistensi keras. Anemia merupakan akibat penting malaria tropika pada anak. Pada infeksi akut,beratnya anemia berhubungan lansung dengan derajat parasitemia.
Malaria ovale mempunya gejala klinis lebih ringan daripada malaria tertian. Pada hari terakhir masa inkubasi, anak menjadi gelisah, anoreksia sedangkan anak besar mengeluh nyeri kepala dan nausea. Demam periodic tiap 48 jam tetapi stadium dingin dan menggigil jarang dijumpai pada bayi dan balita. Selama periode demam, anak selalu merasa dingin dan menggigil dalam waktu singkat. Demam sering terjadi pada sore hari. Pada anak jarang terjadi parasitemia berat, terdapat pada kurang dari 2%. Malaria tertian dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya membesar dan teraba pada akhir minggu pertama. Bilirubin total dapat meningkat tetapi jarang disertai ikterus, sedangkan kadar transaminase sedikit meningkat untuk waktu singkat. Limpa bertambah besar selama serangan dan dapat teraba pada mingu kedua. Kejang dapat terjadi saat demam tinggi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Kematian pada anak sangat jarang terjadi, tetapi dapat terjadi bila disertai penyakit lain yang berat, gizi buruk, dan anemia berat. Pada malaria tertian dan ovale bentuk dormant dari parasit dapat tetap berada dalam hati dan dapat menyebabkan relaps. Relaps dapat terjadi pada kasus yang mendapat pengobatan hanya obat skizontosida saja.
Gambaran klinis malaria kuartana menyerupai malaria tertian, hanya periode demam terjadi tiap 72 jam. Sindrom nefrotik dapat terjadi pada usia 2 samapi 12 tahun dengan puncak pada usia 5-7 tahun. Dijumpai edema berat, proteinuria berat yang menetap, hipoproteinuria berat dan asites. Serum albumin kurang dari 2 gr/dL bahkan pada 95% kurang dari 1gr/dL. Tekanan darah biasanya normal dan tidak jelas adanya azotemia dan hematuria.
Anak-anak dibawah usia 5 tahun sebagian besar mengalami efek berat dari malaria karena mereka belum memiliki imunitas terhadap parasit. Infeksi berat dapat menyebabkan kematian pada anak dalam waktu beberapa jam. Malaria dalam kehamilan dapat berupa infeksi asimptomatik sampai infeksi berat yan membutuhkan terapi. Di area yang transmisi malarianya stabil sebagian besar wanita telah memiliki imunitas alami yang biasanya infeksi tidak menimbulkan gejala selama kehamilan. Di beberapa area utama malaria, infeksi malaria berhubungan dengan anemia pada ibu dan adanya parasit dalam plasenta yang mengakibatkan berat badan lahir rendah (BBLR), yang mempengaruhi pertumbuhan dan kematian bayi. Di area malaria yang transmisinya tidak stabil, wanita memiliki sedikit imunitas dan berisiko mengalami malaria berat dan kematian.
Malaria berat
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum yang menyerang berbagai organ dengan gejala dan tanda yang bervariasi. Penyakit ini menyebabkan 90% dari mortalitas yang berkaitan dengan infeksi P. falciparum di seluruh dunia, sehingga WHO menetapkan kriteria standar untuk diagnosis dini dan penanganan penyakit malaria berat untuk mengurangi angka kematian.
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum stadium aseksual. Malaria dengan disertai satu atau lebih kelainan seperti tertera dibawah ini merupakan malaria berat, antara lain:
1. Malaria serebral, derajat kesadaran menurun (delirium, stupor, koma)
2. Anemia berat, kadar hemoglobin kurang dari sama dengan 5 g/dL
3. Dehidrasi, gangguan asam basa (asidosis metabolic) dan gangguan elektrolit
4. Hipoglikemia berat
5. Gagal ginjal
6. Edema paru berat
7. Kegagalan sirkulasi (Algid malaria)
8. Kecenderungan terjadinya pendarahan
9. Hiperpireksia/hyperthermia
10. Hemoglobinuria/ Black water fever
11. Ikterus
12. Hiperparasitemia
Angka kematian malaria berat dalam penelitian Halim ID,dkk adalah 4% yang terjadi pada penderita malaria serebral dan malaria algid. Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian di Gambella Ethiopia Barat yang dilakukan pada tahun 1998-1999 dengan angka kematian sebesar 22% dan kebanyakan kematian terjadi dalam 24 jam pertama. Demikian pula angka kematian malaria berat di Kenya sekitar 10% dengan kematian terjadi sebanyak 27% dalam 48 jam pertama. Pada penelitian di Myanmar tahun 1995 ditemukan angka kematian terbanyak terjadi dalam 24 jam pertama sebesar 57%.
Pada penelitian di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. RD Kandou Manado 1991-2000 ditemukan 67 kasus dengan angka kematian sebesar 17,2%.11 Pada penelitian Schellenberg et al di Kenya mendapatkan bahwa penderita malaria berat yang dirawat di rumah sakit sebagian besar bertempat tinggal dekat rumah sakit dengan jarak kurang dari 5 km (31,6%), jarak 5-10 km sebanyak 22,6%, jarak 10-15 km sebanyak 21%, jarak 15-20 km sebanyak 14,8%,dan jarak lebih dari 25 km sebanyak 5%. Dikatakan juga, meskipun dengan penggunaan antimalaria secara parenteral dan penanganan komplikasi malaria yang intensif, angka kematian dari malaria serebral masih sekitar 25-50% dan akan terjadi cacat neurologik sebesar 10%. Jika tidak ditangani dengan baik malaria serebral akan meninggal dalam 24-72 jam.
Tanda dan gejala klinis malaria berat dapat berbeda menurut umur dan letak geografis serta berbeda dalam hal frekuensi penularan penyakit malaria. Malaria serebral merupakan bentuk malaria berat yang sering ditemukan di Gambia, sedangkan malaria falciparum dengan anemia berat sering ditemukan pada anak-anak di Papua New Guinea. Demikian juga pada penelitian di Gambella didapatkan bahwa malaria falciparum dengan anemia yang berat paling sering ditemukan dengan jumlah sekitar 33%. Pendapat ini didukung oleh penelitian Ejov et al di Myanmar pada tahun 1995 yang mendapatkan penderita malaria berat yang disertai dengan anemia sebesar 75% dari seluruh penderita. Pada penelitian ini kami menemukan bahwa malaria falciparum dengan hiperparasitemia yang terbanyak sekitar 49% dan diikuti oleh malaria falciparum dengan anemia berat. Hal itu mungkin disebabkan adanya faktor dari imunitas atau kekebalan yang terdapat pada anak-anak yang berada di daerah endemis.
Malaria Serebral
Malaria serebral merupakan komplikasi berat dari malaria falciparum dan menyebabkan kematian bila tidak cepat diobati. Keadaan ini merupakan kegawatan akut yang memerlukan penanganan segera. Penanganannya adalah memberantas parasitemia, mengurangi edema serebri, mengatasi kejang, memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit, dan perawatan yang baik.
Pada penelitian Halim ID,dkk ditemukan angka kematian malaria serebral sebesar 24% (sebanyak 5 penderita dari 21 penderita malaria serebral yang dirawat). Hal itu kemungkinan disebabkan terlambatnya penderita dibawa berobat, dengan lama perawatan rata-rata 2,2 hari dan beratnya komplikasi yang sudah terjadi. Hal itu sesuai dengan angka kematian penderita malaria serebral pada penelitian anak-anak di Afrika tahun 1998 sebesar 18,6%.
Pada malaria serebral, kesadaran anak apatis sampai koma. Tanda neurologic yang penting pada malaria serebral adalah gangguan upper motor neuron yang simetris dan batang otak. Pendarahan dan eksudat pada retina dijumpai pada beberapa kasus namun lebih jarang dibandingkan orang dewasa. Delirium, halusinasi atau mengamuk sangat jarang pada anak. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya dalam batas normal. Pada sebagian besar malaria serebral disertai anemia berat dan parasitemia berat. Kadang-kadang jumlah parasitemia didalam darah tepi rendah yang mungkin disebabkan oleh pengobatan antimalaria yang tidak adekuat atau berada didalam kapiler organ dalam. Hati dan limpa sering dapat diraba. Edema paru dijumpai pada 10% kasus anak, sedangkan oliguria dan azotemia jarang ditemukan pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Pemeriksaan EEG terdapat kelainan yang tidak spesifik.
Malaria serebral adalah malaria falciparum yang disertai kejang dan koma, tanpa penyebab lain lain dari koma. Gejala paling dini dari malaria serebral anak-anak umumnya adalah demam (37,50 -410 C), selanjutnya tidak bisa makan atau minum, sering mengalami rasa mual dan batuk, jarang diare. Riwayat gejala yang mendahului koma dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari. Anak-anak yang sering kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami malaria serebral, terutama jika koma menetap lebih dari setengah jam setelah kejang. Dalamnya koma dapat dinilai sesuai dengan skala koma Glasgow (GCS) atau modifikasi khusus pada anak yaitu skala koma Blantyre, melalui pengamatan terhadap respons rangsangan bunyi atau rasa nyeri yang standar, ketukan (knuckle) iga pada dada anak dan jika tidak ada respons lakukan tekanan kuat pada kuku ibu jari dengan pensil pada posisi mendatar. Selalu singkirkan dan atasi kemungkinan hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan berulang kali untuk menilai ada kemajuan atau kemunduran. Kejang biasanya terjadi pada sebelum atau sesudah timul koma. Hal ini secara bermakna berhubungan dengan morbiditas dan gejala sisa. Sekelompok anak yang dapat ertahan hidup setelah menderita malaria serebral kurang lebih 10% mengalami gejala sisa neurologic yang menetap. Selama periode penyemuhan, gejala sisa dapat berbentuk hemiparesis, ataksia serebelar, kebutaan kortikal, hipotonia berat, retardasi mental, kekakuan yang menyeluruh atau afasia.
Skala Koma Blantyre
Penilaian Spontan Nilai
Pergerakan mata Terarah (misalnya mengikuti wajah ibunya) 1
Tidak terarah 0
Respons verbal Menangis yang wajar 2
Menangis yang tidak wajar atau merintih 1
Tidak ada 0
Respons motorik Rangsangan nyeri setempat (ketuk iga atau sternum) 2
Menarik tungkai dari sumber nyeri (tekan kuat pada kuku dengan pensil) 1
Respons yang tidak spesifik 0
Jumlah 0-5
Pada skala koma Blantyre disebut unrousable coma bila jumlah nilai ˂3
Anemia
Anemia merupakan penyebab penting dari angka kematian dan kesakitan pada penderita yang mengalami infeksi malaria berat dan merupakan salah satu komplikasinya di wilayah endemis. Dalam penelitian Halim dkk, anemia pada tingkatan manapun tidak menimbulkan kematian, namun bila anemia disertai dengan adanya komplikasi dari malaria berat lainnya akan dapat mengakibatkan kematian. Hal itu sama dengan penelitian yang dilakukan di Gambia dan juga yang dilakukan di Gambella. Umur dari 148 penderita antara 1 tahun 2 bulan dan 12 tahun 8 bulan dengan rata–rata 6 tahun 4 bulan. Grebe menemukan penderita sebagian besar berumur 1-5 tahun sebanyak 110 penderita (87%) dan berumur di atas 5 tahun sebanyak 17 penderita (13%) dengan umur rata-rata 36,7 bulan. Pada penelitian Ejov et al tahun 1995 di Myanmar mendapatkan bahwa angka kesakitan malaria berat ditemukan terbanyak pada anak yang berumur 5-9 tahun.
Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia terjadi. Pada beberapa pasien, serangan malaria berulang yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan anemia normokrom sebagai akibat perubahan eritropoetik di dalam sumsum tulang. Walaupun parasitemia tidak berat, didalam darah perifer sudah tampak sel leukosit monosit berpigmen. Seorang anak yang mendadak menderita anemia berat seringkali berhubungan dengan hiperparasitemia. Anemia dapat pula terjadi akibat penghancuran eritrosit yang mengandung parasit. Anak dengan anemia berat dapat menderita takikardia dan dispneu. Anemia turut berperan dalam (1) gejala serebral yaitu bingung, gelisah, koma dan pendarahan retina, (2) gejala kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal jantung, hepatomegali dan edema paru. Pada penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun (1997-1998) ditemukan anemia (Hb<10gr%) sebanyak 38,35%.
Dehidrasi, Gangguan Asam-Basa (asidosis metaolik) dan Gangguan Elektrolit
Gejala klinis dehidrasi sedang sampai berat adalah penurunan perfusi perifer, rasa haus, penurunan berat badan 3-4%, nafas cepat dan dalam, penurunan turgor kulit, peningkatan kadar ureum darah (6,5 mmol/L atau 40 mg/dL), asidosis metabolic pada pemeriksaan urin, kadar natrium urin rendah dan sedimen normal, merupakan tanda terjadinya dehidrasi dan bukan gagal ginjal.
Hipoglikemia Berat
Hipoglikemia dapat terjadi pada malaria berat, terutama pada anak kecil di bawah 3 tahun dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau dengan gejala yang lebih ringan seperti berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab serta naoas tidak teratur.
Hipoglikemi berhubungan dengan hiperinsulinemia yang diinduksi oleh malaria dan kina. Gejala hipoglikemia serupa dengan malaria serebral. Hipoglikemia pada anak adalah keadaan di mana kadar glukosa darah turun menjadi 40 mg/dL atau lebih rendah. Pada penderita yang sadar dapat timbul hipoglikemia dengan gejala klasik rasa cemas, berkeringat, dilatasi pupil, sesak napas, pernapasan sulit dan berbunyi, oliguria, rasa dingin, takikardia dan pening. Gambaran ini dapat berkembang menjadi penurunan kesadaran, kejang umum, ekstensi, syok dan koma.
Gagal Ginjal
Jarang terdapat pada anak dengan malaria terutama pada anak kecil. Demikian juga oliguria jarang dijumpai pada anak kecil bila dibandingka dengan anak besar. Kadar ureum serum sedikit meningkat kira-kira 10% pada anak lebih dari 5 tahun. Seringkali gagal ginjal disebabkan oleh dehidrasi yang tidak diobati adekuat. Pada orang dewasa dapat pula disertai nekrosis tubular akut; bagaimana mekanismenya belum diketahui. Gagal injal pada umumnya bersifat reversible.
Edema Paru Akut
Pada kasus malaria serebral dapat dijumpai anemia berat dan parasitemia berat. Frekuensi napas meningkat dan dijumpai krepitasi serta ronki yang menyebar. Gejala edema paru seringkali timbul beberapa hari setelah pemberian obat antimalaria, pada umumnya terjadi bersamaan dengan hiperparasitemia, gagal ginjal, hipoglikemia dan asidosis. Apabila kita menemukan peninkatan frekuensi napas, harus dibedakan antara edema paru yang diakibatkan oleh pemberian cairan yang berlebihan atau bronkopeneumonia. Sebagai akibat edema paru dapat terjadi hipoksia yang mengakibatkan kejang dan penurunan kesadaran serta kematian.
Kegagalan Sirkulasi (Algid Malaria)
Hipotensi lebih banyak dilaporkan pada malaria berat dewasa dan jarang dijumpai pada anak. Malaria Algid adalah malaria falsiparum yang disertai syok oleh karena adanya septicemia kuman gram negative. Penderita malaria berat pada anak dapat jatuh keadaan kolaps dengan tekanan darah sistoli kurang dari 50 mmHg pada posisi berbaring, kulit teraba dingin, lembab, sianotik, konstriksi vena perifer, denyut jantung lemah dan cepat. Di beberapa Negara berkembang gambaran klinis ini sering berhubungan dengan septicemia gram negative yang berkomplikasi. Kolaps sirkulasi juga terlihat pada penderita dengan edema paru atau asidosis metabolic dan diikuti dengan pendarahan gastrointestinal yang hebat. Dehidrasi dengan hipovolemik juga menyebabkan hipotensi. Tempat yang mungkin berkaitan dengan infeksi harus diperiksa misalnya paru – paru, saluran kemih, meningitis, tempat suntikan intravena, jalur intravena.
Kecenderungan Terjadi Perdarahan
Pendarahan yang sering dijumpai adalah pendarahan gusi, epistaksis, ptechiae dan pendarahan subkonjungtiva. Apabila terjadi DIC akan timbul pendarahan yang lebih hebat yaitu melena dan hematemesis. DIC pada umunya terjadi pada seseorang yang tidak mempunyai imunitas pada malaria. Kecendeungan terjadi pendarahan ditandai dengan perpanjangan waktu pendarahan, trombositopenia dan menurunnya factor koagulasi. Pendarahan spontan dari saluran cerna terjadi pada kira – kira 10% malaria serebral.
Hiperpireksia /Hipertermia
Hiperpireksia lebih banyak dijumpai pada anak daripada dewasa dan seringkali berhubungan dengan kejang, delirium dan koma, maka pada malaria monitor suhu berkala sangat dianjurkan. Hiperpireksia adalah keadaan dimana suhu tubuh meningkat menjadi 420C atau lebih dan dapat menyebabkan gejala sisa neurologic yang menetap.
Hemoglobinuria/ Black Water Fever
Hemolisis intravascular massif dengan hemoglobinuria merupakan komplikasi komplikasi malaria yang jarang terjadi pada anak. Hamper seluruh kasus hemoglobinuria berkaitan dengan defisiensi G6PD pada pasien dengan infeksi malaria. Pada kasus ini, hemolisis akan berhenti setelah pecahnya eritrosit tua.
Ikterus
Manifestasi ikterus sering dijumpai pada orang dewasa namun bila ditemukan pada anak prognosanya jelek.
Hiperparasitemia
Pada penderita yang nonimun, densitas parasit parasit > 5% dan adanya skizontaemia yang berhubungan dengan malaria berat. Penderita dengan parasitemia berat akan meningkatkan terjadinya resiko komplikasi berat.
7. Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti infeksi malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostic cepat.
1. Anamnesis
Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria.
Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
Riwayat sakit malaria.
Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka anak malaria berat, dapat ditemukan keadaan di bawah ini:
Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
Keadaan umum yang lemah.
Kejang-kejang.
Panas sangat tinggi.
Mata dan tubuh kuning.
Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.
Nafas cepat (sesak napas).
Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.
Warna air seni seperti teh pekat dan dapat sampai kehitaman.
Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.
Telapak tangan sangat pucat.
2. Pemeriksaan Fisik
Demam (≥37,5oC)
Kunjunctiva atau telapak tangan pucat
Pembesaran limpa
Pembesaran hati
Pada anak tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut:
Temperature rectal ≥40oC.
Nadi capat dan lemah.
Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan <50 mmHg pada anak-anak.
Frekuensi napas >35 kali permenit pada orang dewasa atau >40 kali permenit pada balita, dan >50 kali permenit pada anak dibawah 1 tahun.
Penurunan kesadaran.
Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
Tanda-tanda dehidrasi.
Tanda-tanda anemia berat.
Sklera mata kuning.
Pembesaran limpa dan atau hepar.
Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.
Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskopik
Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada anak adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam darah tepi. Pemeriksaan darah tetes tebal (identifikasi plasmodium/tingkat parasitemia) dan tipis dengan pewarnaan Giemsa untuk menentukan:
Ada/tidaknya parasit malaria.
Spesies dan stadium Plasmodium
Kepadatan parasit
- Semi kuantitatif:
(-) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB
(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB
(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB
(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB
(++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB
- Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah tebal (leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit).
Contoh:
Bila dijumpai 1500 parasit per 200 leukosit, sedangkan jumlah leukosit 8000/uL maka hitung parasit 8000/200 x 1500 parasit = 60.000 parasit/uL.
Bila dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Bila jumlah eritrosit 450.000 maka hitung parasit = 450.000/1000x50 = 225.000 parasit/uL
Gambar Tetes darah tebal dan tipis
Plasmodium falciparum menyerang semua bentuk eritrosit mulai dari retikulosit sampai eritrosit yang telah matang. Pada pemeriksaan darah tepi baik hapusan maupun tetes tebal terutama dijumpai parasit muda bentuk cincin (ring form). Juga dijumpai gametosit dan pada kasus berat yang biasanya disertai komplikasi, dapat dijumpai bentuk skizon. Pada kasus berat, parasit dapat menyerang sampai 20% eritrosit. Bentukseksual/gametosit muncul dalam waktu satu minggu dan dapat sampai beberapa bulan setelah sembuh. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan tipis, gametositnya berbentuk pisan dan terdapat bintik Maurer pada sel darah merah. Pada sediaan darah tebal dapat dijumpai gametosit berbentuk pisang, banyak sekali bentuk cincin tanpa bentuk lain dewasa (star in the sky), terdapat balon merah di sisi luar gametosit.
Plasmodium falciparum
Plasmodium vivax terutama menyerang retikulosit. Pada pemeriksaan darah tepi bik hapusan tipis maupun tebal biasanya dijumpai semua bentuk parasit aseksual dari bentuk ringan sampai skizon. Biasanya menyerang kurang dari 2% eritrosit. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan darah tipis, dijumpai sel darah merah membesar, terdapat titik Schuffner pada sel darah merah dan sitoplasma amuboid (terutama pada tropozoit yang sedang berkembang dan bayangan merah di sisi luar gametosit
Plasmodium vivax
Plasmodium malariae terutama menyerang eritrosit yang telah matang. Pada sediaan hapusan darah perifer tipis maupun tetes tebal dapat dijumpai semua bentuk parasit aseksual. Biasanya parasit menyerang kurang dari 1% dari jumlah eritrosit. Parasit pada sediaan darah tepi tipis berbenyuk khas seperti pita (band form), skizon berbentuk bunga ros(rosette form), tropozoit kecil bulat dan kompak beisi pigmenyang menumpuk, kadang-kadang menutupi sitoplasma/inti atau keduanya.
Plasmodium malariae
Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebaga berikut:
Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negative, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut.
Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan
b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda immunokromatografi dalam bentuk dipstik. Tes ini sangat bermanfaat pada unit gawat darurat, pada saat terjadi kejadian luar biasa dan didaerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas laoratorium serta untuk survey tertentu.
Tes yang tersedia di pasaran saat ini mengandung:
HRP-2 (Histidin rich protein 2) yan diproduksi oleh tropozoit, skizon dan gametosit muda Plasmodium falciparum.
Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) dan aldolase yang diproduksi oleh parasit bentuk aseksual atau seksual Plasmodium falciparum, P.vivax, dan P.malariae.
Kemampuan rapid test yang beredar pada umumnya ada 2 jenis yaitu:
Single yang mampu mendiagnosis hanya infeksi Plasmodium falciparum
Combo yang mampu mendiagnosis infeksi P.falciparum dan non falciparum
Oleh karena tekhnologi ini baru memasuki industry maka sngat perlu untuk memperhatikan kemampuan sensitivitas dan spesifisitas dari alat ini. Dianjurkan untuk menggunakan rapid test dengan kemampuan minimal sensitivity 95% dan spesifisity 95%. Hal yang penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam frezer pendingin.
c. Tes serologi
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adlah IFA (indirect fluorescent antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA ( Enzyme linked immunosorbent assay). Kegunaan tes ini untuk diagnosis malaria akutsanat terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk diagnosis epidemiologi. Pada daerah endemis atau pernah endemis, tes serologi berguna untuk:
Menentukan berapa lama endemisitas berlangsung
Menentukan perubahan derajat transmisi malaria
Menentukan daerah malaria dan focus transmisi
Sedangkan di daerah non endemis, tes serologi digunakan untuk:
Skrining donor darah.
Menyingkirkan diagnosis malaria pada kasus demam sedangkan pada pemeriksaan darah tidak ditemukan parasit.
Menentukan kasus dan mengidentifikasi spesies parasit malaria bila cara lain tidak berhasil.
Tekhnik diagnostic lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa dibawah mikroskop fluoresens. Tekhnik mutahir lain dikembangkan saat ini menggunakan pelacak DNA probe untuk deteksi antigen.
d. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:
Hemoglobin dan hematokrit
Hitung jumlah leukosit, trombosit
Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah)
EKG
Foto thoraks
Analisis cairan serebrospinalis
Biakan darah dan uji serologi
Urinalisis
8. Pengobatan Malaria
Obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivate artemisin. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk profilaksis, pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program pemberantasan malaria, sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita malaria falciparum tanpa komplikasi. Kina merupakan obat anti malaria pilihan untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan untuk pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis, pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat. Artemisin digunakan untuk pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrugs.(14).
Beberapa obat antibiotika dapat bersifat sebagai antimalaria. Khusus di Rumah Sakit, obat tersebut dapat digunakan dengan kombinasi obat antimalaria lain, untuk mengobati penderita resisten multidrugs. Obat antibiotika yang sudah diujicoba sebagai profilaksis dan pengobatan malaria diantaranya adalah derivate tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, sulfametoksazol-trimetoprim dan siprofloksasin. Obat-obat tersebut digunakan bersama obat anti malaria yang bekerja cepat dan menghasilkan efek potensiasi antara lain dengan kina.
Penatalaksanaan Malaria tanpa komplikasi
Obati anak secara rawat jalan dengan obat antimalaria lini1. Terapi yang direkomendasikan WHO sekarang adalah kombinasi antara artemisinin sebgai obat lini 1. Klorokuin dan sulfadoksin pirimetamin tidak lagi menjadi obat anti malaria lini 1 maupun ke2 karena tingginya angka resistensi obat ini terhadap malaria falciparum. Berikan pengobatan 3 hari dengan memberikan regimen yang dapat dipilih dibawah ini.
- Artesunat ditambah amodiakuin
Tablet terpisah 50 mg artesunat dan 153 mg Amodiakuin basa
Artesunat: 4 mg/KgBB/dosis tunggal selama 3 hari
Amodiakuin: 10 mg/KgBB/dosis tunggal selama 3 hari
- Dehidroartemisinin ditambah piperakuinin
Dehidroartemisinin: 2-4 mg/kgBB
Piperakuin: 16-32 mg/kgBB/dosis tunggal
Obat kombinasi ini diberikan selama 3 hari
- Artesunat ditambah sulfadoksin pirimetamin
Artesunat tablet terpisah 50 mg dan 500 mg sulfadokasin atau 25 mg pirimetamin
Dosis artesunat 4 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari
SP 25 mg/kgBB dosis tunggal
- Artemeter atau lumefantrin
tablet kombinasi yang mengandung 20 ng artemeter dan 120 lumefantrin
Artemeter: 3,2 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Lumefantrin: 20 mg/kgBB
Tablet kombinasi ini dibagi dalam 2 dosis dan diberikan selama 3 hari
- Amodiakuin ditambah Sulfadoksin pirimetamin
Tablet terpisah 153 mg Amodiakuin dan 500 mg Sulfadoksin atau 25 mg pirimetamin
Amodiakuin: 10 mg/kgBB/ dosis tunggal
SP: 25 mg/kgBB/dosis tunggal
Untuk malaria falciparum, khusus untuk usia >1 tahun tambahkan primakuin 0,75 mg/kgBB/ dosis tunggal selama 1 hari. Untuk vivax, ovale dan malariae tambahkana primakuin 0,25 mg/kgBB/dosis tunggal selama 14 hari.
Tindak lanjut
Minta ibu untuk kunjungan ulang jika demam menetap setelah obat diminum berturut-turut dalam 3 hari atau lebih awal jika kondisi anak memburuk. Ibu juga harus kembali lagi jika demam timbul lagi.
Jika hal ini terjadi, periksa apakah anak memang minum obatnya dan ulangi apusan darah. Jika obat tidak diminum ulangi pengobatan. Jika obat telah diberikan, namun hapusan darah masih positif berikan obat antimalaria lini ke 2. Lakukan penilaian ulang pada anak untuk mengetahui dengan jelas kemungkinan lain penyebab demam. Jika demam timbul pada pengobatan lini ke 2 minta ibu untuk kunjungan ulang untuk menilai kembali penyebab lain demam.
Menurut keputusan menteri kesehatsn Indonesia tahun 2007, ditetapkan pengobatan malaria yaitu:
a. Pengobatan malaria falciparum
Lini pertama: Artesunat+Amodiakuin+Primakuin
dosis artesunat= 4 mg/kgBB (dosis tunggal), amodiakuin= 10 mg/kgBB (dosis tunggal), primakuin= 0,75 mg/kgBB (dosis tunggal).
Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan berdasarkan berat badan anak, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur. Dosis makasimal penderita dewasa yan dapat diberikan untuk artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, 3 tablet untuk primakuin.
Tabel 2. Pengobatan Lini Pertama Malaria Falciparum Menurut Kelompok Umur.
Hari
Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥15 th
I Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Primakuin - - ¾ 1 ½ 2 2-3
II Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
III Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria falciparum. Pemakaian artesunat dan amodiakuin bertujuan untuk membunuh parasit stadium aseksual, sedangkan primakuin bertujuan untuk membunuh gametosit yang berada di dalam darah.
Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan bila pengobatan lini pertama tidak efektif.
Lini kedua: Kina+Doksisiklin/Tetrasiklin+Primakuin
Dosis kina=10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), doksisiklin= 4 mg/kgBB/hr (dewasa, 2x/hr selama 7 hari), 2 mg/kgBB/hr (8-14 th, 2x/hr selama 7 hari), tetrasiklin= 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan anak, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur.
Tabel 3. Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falciparum
Hari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-11 bln 1-4 th 5- 9 th 10-14 th ≥ 15 th
I Kina * 3x½ 3x1 3x½ 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
Primakuin - ¾ 1½ 2 2-2
II-VII Kina * 3x½ 3x1 3x½ 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
* : dosis diberikan per kgBB
** : 2x50 mg doksisiklin
*** : 2x100 mg doksisiklin
b. Pengobatan malaria vivax dan malaria ovale
Lini pertama: Klorokuin+Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai piliha utama untuk pengobatan malaria vivax dan ovale. Pemakaian klorokuin bertujuan membunuh parasit stadium aseksual dan seksual. Pemberian primakuin selain bertujuan untuk membunuh hipnozoit di sel hati, juga dapat membunuh parasit aseksual di eritrosit(3).
Dosis total klorokuin= 25 mg/kgBB (1x/hr selama 3 hari), primakuin= 0,25 mg/kgBB/hr (selama 14 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan anak obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur, sesuai dengan tabel.
Tabel 4. Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale
Hari Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥15 th
I Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
II Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
III Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
IV-XIV Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke 28 setelah pemberian obat, ditemukan keadaan sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari keempat) dan tidak ditemukan parasit stadium aseksual sejak hari ketujuh(3). Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat:
Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau
Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau timbul kembali setelah hari ke-14.
Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari ke-15 sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps atau infeksi baru).
Pengobatan malaria vivax resisten klorokuin
Lini kedua: Kina+Primakuin
Dosis kina= 10 mg/kgBB/kali (3x/hr selama 7 hari), primakuin= 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari).
Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur sebagai berikut:
Tabel 5. Pengobatan Malaria vivax Resisten Klorokuin
Hari
Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th
1-7 Kina * * 3x½ 3x1 3x2 3x3
1-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
*: dosis diberikan per kgBB
Pengobatan malaria vivax yang relaps
Sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin yang ditingkatkan. Dosis klorokuin diberikan 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB dan primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari. Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur.
Tabel 6. Pengobatan Malaria vivax yang Relaps
Hari
Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th
1 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ½ 1 1½ 2
2 Klorokuin ¼ ½ - 2 3 3-4
Primakuin - - ½ 1 1½ 2
3 Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2
Primakuin - - ½ 1 1½ 2
14-14 Primakuin - - ½ 1 1½ 2
c. Pengobatan malaria malariae
Klorokuin 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB. Klorokuin dapat membunuh parasit bentuk aseksual dan seksual P. malariae. Pengobatan dapat juga diberikan berdasarkan golongan umur anak.
Tabel 7. Pengobatan Malaria Malariae
Hari
Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th
I Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
II Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
III Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2
Penatalaksanaan Malaria dengan komplikasi (Malaria Berat)
Tindakan gawat darurat-harus dilakukan dalam waktu satu jam pertama
- Bila ada hipoglikemia atasi sesuai dengan tatalaksana hipoglikemia
- Atasi kejang sesuai dengan tatalaksana kejang
- Perbaiki gangguan sirkulasi darah
- Jika anak tidak sadar, pasang pipa nasogastrik dan isap isi lambung secara teratur untuk mencegah risiko pneumonia aspirasi
- Atasi anemia berat
- Mulai pengobatan dengan obat anti malaria yang efektif.
Pengobatan anti malaria
Obat antimalaria di Indonesia adalah klorokuin, primakuin, kina pirimetamin dan sulfadoksin. Obat anti malaria dapat digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu:
1. Skizontisida jaringan primer
Obat anti malaria yang tergolong kelompok ini dapat membunuh parasit stedium praeritrositer dalam beberapa hari sehingga parasit masuk ke dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai profilaksis kausal. Contoh: proguanil, pirimetamin
2. Skizontisida jaringan sekunder
Kelompok obat ini dapat membunuh parasit siklus praeritrositer Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai anti relaps. Contoh: primakuin
3. Skizontisida darah
Kelompok obat antimalaria yang membunuh parasit stadium eritrositik pada malaria akut (disertai gejala klinik) pada semua spesies plasmodium. Contoh: kuinin, klorokuin, proguanil dan pirimetamin
4. Gametositosida
Obat kelompok gametosida berfungsi menghancurkan semua bentuk seksual terasuk gametosida Plasmodium falciparum, contoh primakuin sebagai gameosida keempat spesies, sedangkan kuinin dan klorokuin sebagai gametosida untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale
5. Sporontosida
Sporontosida dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Contoh: primakuin, proguanil.
Jika konfirmasi apusam darah untuk malaria membutuhkan waktu lebih dari satu jam, mulai berikan pengobatan malaria sebelum diagnosis dipastikan atau sementara gunakan RDT.
WHO merekomendasikan artesunat, dimana Jadwal pemberian Artesunat IV yaitu untuk Jam ke-0, Jam ke-12, Jam ke-24 Artesunate 2.4 mg/kg. Kemudian tiap 24 jam: Artesunate 2.4 mg/kg perhari sampai pasien dapat mentoleransi pengobatan oral. Artesunat dapat diberikan secara IM dengan dosis yang sama dengan IV. Untuk pengobatan Malaria berat, dapat diberikan Arthemeter IM jika injeksi Artesunat tidak tersedia. Jam ke-0 Artemether 3.2 mg/kg H24 Artemether 1.6 mg/kg setiap 24 jam sampai pengobatan oral bisa ditoleransi. Gunakan semprit 1 ml untuk memberikan volume suntikan yang kecil
Untuk pengobatan malaria berat lainnya dapat diberikan Kina (IV), dimana pada jam ke-0 sampai jam ke-4, 20 mg/kg dalam cairan NaCL diberikan lebih dari 4 jam (lebih baik dipilih pemberian dalam burette) . Jam ke-8, 10 mg/kg diberikan lebih dari 2 jam dan ini diulang tiap 8 jam (Jam ke 16, jam ke 24 dan seterusnya, total dosis harian 30 mg/kg) sampai anak bisa minum obat. Kemudian berikan dosis oral untuk menyelesaikan 7 hari pengobatan atau berikan 1 dosis SP bila tidak ada resistensi. Jika ada resistensi SP berikan dosis penuh terapi kombinasi artemisin. Dosis awal kina diberikan hanya bila ada pengawasan ketat dari perawat terhadap pemberian infuse dan pengaturan tetesan infuse. Jika ini tidak memungkinkan lebih aman untuk memberikan obat kina intramuskuler. Kina intramuskuler diberikan jika obat kina melalui infuse tidak dapat diberikan. Quinine dihidroklorida dapat diberikan dalamm dosis yang sama melalui suntikan intramuskuler. Berikan aram kina 10 mg/kgBB IM dan ulangi setiap 8 jam. Larutan parenteral harus diencerkan sebelum digunakan karena akan lebih mudah untuk diserap dan tidak nyeri.
Perawatan penunjang
Pada anak yang tidak sadar:
- Jaga jalan nafas
- Posisi miring untuk menghindari aspirasi
- Ubah posisi pasien tiap setiap 2 jam
o Pasien harus berbaring dialas yang kering
o Perhatikan titik-titik yang tertekan
Lakukan tindakan pencegahan berikut dalam pemberian cairan:
- Jika dehidrasi
- Selama rehidrasi, pantau tanda kelebihan cairan. Tanda yang paling mudah adlah pembesaran hati. Tanda lainnya adalah irama derap, fine cracles (ronki) pada dasar paru dan atau peningkatan JVP. Edema kelopak mata merupakan tanda yang berguna.
- Jika, setelah rehidrasi dieresis kurang dari 1 ml/kgBB/jam, berikan furosemid intravena dengan dosis awal 1 mg/kgBB. Jika tidak ada reaksi, gandakan dosis dengan interval tiap jam hingga maksimal 8 mg/kgBB (diberikan selama 15 menit).
- Pada anak tanpa dehidrasi, pastikan anak mendapatkan cairan sesuai kebutuhan.
Hindari menggunakan obat-obatan tambahan yang tidak berguna dan membahayakan seperti kortikosteroid (dan obat anti radan lainnya), heparin, adrenalin, prostasiklin dan sikosporin.
Terapi untuk komplikasi khusus
a. Koma
Untuk mengukur tingkat kesadaran dapat digunakan Glasgow Coma Scale pada dewasa dan Blantyre Coma Scale pada anak ≤ 5 tahun.
1) Cek gula darah , hipoglikemia = < 2.2 mmol/l; < 40 mg/100ml
2) Lihat tanda-tanda meningitis, diantaranya kaku kuduk: jika ada, pertimbangkan untuk lumbal pungsi (LP) dan mulai pemberian antibiotic IV. Jangan lakukan LP jika ada tanda peningkatan TIK diantaranya pupil anisokor, pupil tidak reaktif, bradikardia atau nafas tidak teratur. Jika tidak bisa melakukan LP tapi sudah yakin ada meningitis, maka mulailah pemberian antibiotic.
3) Observasi secara teratur, awal setiap jam sampai pasien stabil dan kemudian tiap 4 jam, ini meliputi gula darah, nadi, tekanan darah, kesadaran.
4) Monitor dan catat input dan output cairan, sebaiknya dipasang kateter urin. Saat urin kurang dari 0.5ml/kg/jam atau ada tanda-tanda dehidrasi, pertimbangkan untuk pemberian cairan bolus. Cairan Normal Salin awalnya 20 ml/kg pada anak-anak.Ini dapat diulang maksimal 40ml/kg pada anak-anak. Observasi tanda-tanda oedema paru dan auskultasi dada untuk mendengarkan krepitasi (oedema paru). Jika ada pertimbangkan pemberian furosemid 1mg/kgBB.
5) Observasi kejang, jika ada kejang sebaiknya diterapi.
6) Monitor parasitaemia setiap 6-12 jam sampai negatif
7) Cek haemoglobin atau haematocrit setiap 24 jam
8) Berikan asuhan keperawatan yang baik
9) Masukkan NGT dan kosongkan isi lambung
10) Pertimbangkan untuk mulai pemberian makanan pada hari ke-2 pada anak-anak dan hari.
b. Anemia Berat
Anemia berat ditandai dengan pucat yang sangat pada tangan, sering diikuti dengan denyut nadi yang x=cepat. Kesulitan vernafas, kebingungan atau gelisah. Tanda gagal jantung seperti irama Gallop, pembesaran hati dan edema paru bisa ditemukan.
Berikan transfusi darah sesegera mungkin kepada:
- Hb < 5 gr/dL atau Hct kuramg dari 15%
- Hct > 15%, atau Hb > 5 gr/dL dengan tanda2 sebagai berikut:
o Dehidrasi, shok, penurunan kesadaran, pernafasan kismaull, gagal jantung, parasitemia yang sangat tinggi.
Berikan PRC 10 ml/kgBB selama 3-4 jam. Jika tidak tersedia PRC berikan WB 20 ml/kgBB dalam wwaktu 3-4 jam.
Periksa nafasdan nadi setiap 15 menit, jika salah satnya mengalaami kenaikan, berikan transfuse dengan tetesan yang lebih lambat. Jika ada bukti kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan furosemid intravena 1-2 mg/kgBB hingga jumlah maksimal 20 mg/kgBB. Setelah transfuse jika Hb tetap rendah ulangi transfuse. Pada anak dengan gizi buruk kelebihan cairan merupakan komplikasi yang umum dan serius. Berikan fresh whole blood 10 ml/kgBB hanya sekali.
c. Hipoglikemia
Gula darah < 2,5 mmol/liter atau < 45 mg/dl lebih sering terjadi pada pasien umur < 3 tahun, yang mengalami kejang atau hiperparasitemia dan pasien koma. Periksa glukosa plasma setiap 4 jam pada pasien tidak sadar. Berikan pasien hipoglikemia dengan Dextrose 50%, 1 ml per kgBB lebih dari 10 menit. Perhatikan bahwa hipoglikemia dapat kambuh dengan cepat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hipoglikemia, syok atau penyakit yang berbeda seperti meningitis bukanlah penyebab kesadaran berubah. Kemungkinan hipoglikemia lebih tinggi pada anak-anak dan pengobatan dengan pengobatan kina. Juga, periksa glukosa darah jika ada penurunan tingkat kesadaran.
d. Meningitis
Jika ada keraguan tentang diagnosis malaria serebral, pungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan meningitis bakteri, asalkan tidak ada kontraindikasi. Meningitis harus diperhatikan jika slide negatif untuk bentuk aseksual P. falciparum, pasien shock atau jika ada leukositosis dan / atau pergeseran ke kiri dalam jumlah sel putih (karena ini bukan fitur-fitur umum malaria berat ), atau jika ada tanda-tanda keterlibatan meningeal seperti leher kaku. Cairan cerebrospinal berawan (CSF), berarti meningitis jadi pengobatan awal (idealnya) dengan sefalosporin generasi ke-3 (dewasa ceftriaxone IV 2000 mg BD, anak-anak 80mg/kg BD). Jika mungkin, CSF harus dikirim untuk jumlah sel, glukosa dan tingkat protein, Gram dan BTA dan budaya. Gram stain dan kultur (CSF dan darah) adalah yang paling penting.
e. Jaundice
Pasien dengan malaria berat bisa sangat kuning, karena hemolisis intravaskular sel darah merah dan disfungsi hati. Ini adalah tanda prognosis, tetapi tidak ada terapi spesifik.
f. Blackwater Fever
Haemoglobinuria karena hemolisis intravaskular dikaitkan dengan terapi kina dan defisiensi G6PD. Transfusi darah segar bertujuan untuk mempertahankan hematokrit di atas 20%. Tidak ada terapi spesifik. terapi antimalaria tidak harus dihentikan.
g. Shock
Hipotensi berat (tekanan darah sistolik di bawah 80 mmHg) adalah temuan jarang pada malaria berat dan jika syok septik hadir harus dicurigai. Sumber infeksi mungkin harus dicari, jika sama sekali tidak diketahui maka darah harus diambil dan terapi antibiotik empiris yang mencakup organisme gram negatif harus dijalankan (misalnya untuk orang dewasa ceftriaxone 2 g BD, untuk anak-anak 80mg/kg BD atau 1 g cefotaxime untuk orang dewasa dan TID 25mg/kg, dengan atau tanpa dosis tunggal gentamisin 4 mg / kg). Pemberian cairan (pada orang dewasa 1 L NSS;. Pada anak 20ml/kg NSS (koloid jauh lebih mahal dan tidak memiliki keuntungan besar) harus diberikan. Jika ini tidak meningkatkan tekanan darah, pasien mungkin akan memerlukan terapi vasopresor (dopamin, noradrenalin) dan harus dirujuk ke rumah sakit. Sementara itu harus dilanjutkan sampai tekanan darah rata-rata (diastolik BP + 1 / 3 * (diastolik sistolik) di atas 60 hingga 70 mmHg. Pada syok septik tanpa bantuan obat-obatan vasopresor dan kemungkinan untuk intubasi/ventilasi, keseimbangan antara resusitasi cairan dan dekompensasi kadang-kadang tidak dapat dicapai.
h. DIC
Disseminated intravascular coagulation (DIC) dapat dicurigai bila terdapat perdarahan spontan dan oozing dari tempat venepuncture. Hal ini sangat jarang pada malaria berat (5%), tapi sangat sering pada septicaemia. Untuk therapy, 10 mg vitamin K diberikan intravenously (secara lambat) 24 jam untuk 3 hari. Diagnosisdapat ditegakkan dengan pengukuran clotting times dalam blood, tapi hal ini tidak essentialpada setiap situasi. Terapi tambahan tidak direkomendasikan.
g. Kejang
Terapi segera dengan diazepam dan cek gula darah. Dewasa 10 mg IV setelah 5 menit, Anak 0.3 mg/kg IV, atau pemberian rectal 0.5 mg/kg
Kejang lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa dengan malaria berat. Profilaksis untuk kejang tidak direkomendasikan (pedoman WHO 2006). Fenobarbital 20 mg / kg pada anak-anak Kenya dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, mungkin dari depresi pernapasan. kejang berulang pada orang dewasa dapat diobati dengan fenobarbital IM 7 mg / kg, jika tersedia. Pada anak-anak fenitoin IV 18 mg / kg selama 20 menit (dewasa 5mg/kg) adalah pilihan.
9. Pencegahan
Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemic malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar dari daerah endemic malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.
a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam) maksimal 300 mg basa sekali seminggu atau
b. Fansidar atau Suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/kgBB atau Sulfadoksin 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan atau lebih)
Menghindari dari gigitan nyamuk
o Memakai kelambu atau kasa anti nyamuk
Penggunaan kelambu dalam pengendalian malaria adalah dalam rangka melindungi pemakai kelambu dari gigitan dan membunuh yang hinggap di kelambu untuk mencegah terjadinya penularan.
Sasaran penggunaan dan pembagian kelambu
a. Lokasi
- Daerah atau desa endemis tinggi malaria
- Desa terpencil
- Desa/dusun terjadi KLB
- Di daerah yang penyemprotan rumah tidak efektif
b. Penduduk
- Ibu hamil
- Bayi dan anak balita
- Keluarga miskin
Jenis kelambu yang digunakan dalam pengendalian malaria adalah
a. Kelambu celup
Kelambu celup adalah jenis kelambu nylon atau katun yang dicelup dengan insektisida tertentu yang berguna mencegah gigitan nyamuk dan membunuh nyamuk yang hinggap pada kelambu tersebut.
b. Kelambu Berinsektisida (LLITN=Long Lasting Insecticide Treated Net)
Kelambu LLITN adalah kelambu yang serat benangnya bercampur insektisida tertentu kemudian dipintal menjadi benang dan dibuat rajutan kelambu sehingga insektisida bertahan lama pada kelambu tersebut. Insektisida dapat bertahan lama sampai 5 tahun yaitu masih efektif membunuh nyamuk, meskipun dicuci 20 kali.
Sejak November 2004, WHO merekomendasikan LLITN untuk program pengendalian malaria. Kelambu ini lebih mahal tetapi dibandingkan kelambu celup (Impregnated Bed Net/IBN), kelambu ini relative lebih mudah, karena tidak perlu celup ulang setiap 6 bulan dan efektifitasnya bertahan sampai 5 tahun.
o Menggunakan obat pembunuh nyamuk dan menyemprot obat nyamuk sebelum malam
o Pakailah pakaian pelindung
o Meminimalkan paparan nokturnal.
o DEET penolak serangga atau minyak kayu putih aroma lemon dapat diterapkan pada kulit untuk cegah gigitan
o Memakai pakaian lengan panjang dan celana panjang jika berada di luar pintu atau di luar rumah setelah matahari terbenam.
Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam-macam stadium pada perjalanan penyakit malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu
o Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: a) Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk dan menginfeksi manusia, b) Merozoit yang menyerang eritrosit, dan c) Gametosit yang menginfeksi nyamuk
o Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masin, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit Plasmodium falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila telah berhasil, dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria tropika terutama pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan rekayasa genetika.
Konsep memori imunologik dan transfer imunitas lewat serum atau imunoglobulin tampaknya berperan pada proses terbentuknya kekebalan terhadap malaria. Individu yang sudah terpapar Plasmodium dalam waktu yang lama mungkin sudah lebih dulu “membangun” imunitas sehingga gejala infeksi tidak begitu nyata, walaupun dari analisis darah tebal sudah ditemukan Plasmodium. Selain itu apabila serum darah seorang dewasa yang sudah sering terpapar Plasmodium diberikan kepada orang lain yang belum pernah terpapar, maka resipien serum itu akan memperoleh sejumlah imunitas.
Karena itu, prinsip vaksinasi adalah membuat seseorang yang tidak pernah terpapar Plasmodium menjadi imun dengan cara memaparkannya pada Plasmodium yang dilemahkan. Dalam hal ini sporozoit adalah bentuk yang terpenting karena sesuai dengan bentuk Plasmodium yang dimasukkan nyamuk ke dalam tubuh manusia. Konsep ini sudah dicoba pada tahun 1970-an dengan melemahkan sporozoit lewat radiasi, namun kendala perbedaan spesies Plasmodium yang amat bervariasi membuat konsep ini tidak terlalu berkembang pada saat itu. Sedangkan pada masa sekarang, permasalahan utama adalah resistensi parasit yang berkembang dengan cepat.
Selain pada fase sporozoit, ada kemungkinan konsep vaksin bekerja pada tahap lain dalam siklus hidup Plasmodium. Secara teoritis setiap tahap perkembangan Plasmodiumdalam tubuh manusia dapat dibuatkan vaksin. Vaksin preeritrositer (hepatik) dibuat berdasarkan konsep penghambatan pelepasan trofozoit dari skizon hati, yaitu dengan menginduksi limfosit T sitotoksik untuk merusak sel-sel hati yang terinfeksi. Vaksin eritrositer diharapkan dapat menghambat multiplikasi trofozoit yang dilepaskan skizon hati atau mencegah invasi trofozoit menuju eritrosit. Ada pula konsep pembuatan vaksin yang mampu mencegah perlekatan eritrosit ke dinding pembuluh darah. Fase seksual juga dapat dijadikan dasar pengembangan vaksin. Fase ini tidak berperan imunologis pada manusia, namun berperan dalam mencegah penularan lebih lanjut lewat nyamuk.
Pengembangan vaksin malaria pada saat ini ditujukan untuk dua kelompok besar. Yang pertama kepada populasi di daerah endemik malaria, dan yang kedua ditujukan untuk turis dari negara nonendemik yang berkunjung ke negara endemik. Sebenarnya saat ini malaria pada turis dapat dicegah dengan pengobatan kemoprofilaksis; namun pertimbangan efek samping, kepatuhan, kontraindikasi, dan kenyamanan; cukup membuat para turis dan calon turis mengharapkan alternatif pencegahan malaria yang lebih baik.
Berikut ini adalah beberapa kandidat vaksin malaria yang pernah diuji.
• Pada tahun 1987 dikembangkan kandidat vaksin SPf66, dengan menggunakan antigen permukaan sporozoit dan merozoit Plasmodium falciparum. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal di fase III, di mana efektivitasnya turun dari 75% menjadi 60%.
• CSP adalah vaksin terhadap Plasmodium falciparum yang menggunakan rekombinan terhadap komposisi protein permukaan sporozoit (circumsporozoite protein) yang berikatan dengan toksin Pseudomonas aeruginosa. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal di fase I, karena efek protektifnya tidak begitu kuat.
• Vaksin multifase NYVAC-Pf7 yang mengkombinasikan 7 antigenP.falciparum. Vaksin ini mengandung CSP dan PfSSP2 (antigen permukaan sporozoit) yang berfungsi protektif pada fase sporozoit; 4 antigen LSA1 (beberapa di antaranya AMA-1, antigen serin, MSP-1) yang protektif di fase eritrositer; dan 1 antigen fase seksual (Pfs25). Uji klinik terhadap vaksin ini gagal memicu terbentuknya antibodi protektif pada manusia.
• RTS,S merupakan kandidat vaksin rekombinan yang mengandung protein permukaan sporozoit P.falciparum dari fase preeritrositer yang digabungkan dengan antigen permukaan virus hepatitis B; sehingga diharapkan imunogenisitasnya meningkat. Bahan adjuvan yang teruji klinis cukup baik imunogenisitasnya adalah monofosforil A dan QS21 (SBAS2). Hasil uji efektivitas kandidat vaksin ini cukup baik, terutama bagi anak-anak. Efektivitas vaksin pada anak-anak ditemukan sebesar 53% untuk adjuvan AS01E (Bejon et.al; 2008) dan 65.2% untuk adjuvan AS02D (Abdulla et.al; 2008).
• PvRII (Plasmodium vivax region II) merupakan kandidat vaksin yang ditujukan untuk mengikat protein reseptor untuk P.vivax; yaitu antigen Duffy.
• Sanaria PfSPZ adalah kandidat vaksin lainnya yang menggunakan sel utuh Plasmodium falciparum yang dilemahkan sebagai pemicu respons imunitas. Prinsip dasarnya sama dengan metode yang iradiasi nyamuk yang mengandung Plasmodium falciparum untuk melemahkan parasit, yang pernah dikembangkan pada tahun 1970-an.
10. Prognosis
Prognosis malaria yang disebabkan oleh P.vivax pada umumnya baik, tidak menyebabkan kematian, walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps, sedangkan P.malariae dapat berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps, pernah dilaporkan sampai 30-50 tahun. Infeksi Plasmodium falciparum tanpa penyulit berlangsung sampai satu tahun. Infeksi Plasmodium falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama pada gizi buruk. WHO mengemukakan indicator prognosis buruk apabila:
• Indikator klinis
o Umur 3 tahun atau kurang
o Koma yang berat
o Kejang berulang
o Refleks kornea negative
o Deserebrasi
o Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru)
o Terdapat pendarahan retina
• Indikator Laboratorium
o Hiperparasitemia (>250.000/ml atau >5%)
o Schizontemia dalam darah perifer
o Leukositosis
o PCV (packed cell volume) <15%
o Hemoglobin <5g/dL
o Glukosa darah <40 mg/dL
o Ureum >60 mg/dL
o Glukosa liquour serebrospinalis rendah
o Kreatinin>3,o mg/dL
o Lactat dalam liquor serebrospinalis meningkat
o SGOT meningkat >3 kali normal
o Antitrombin rendah
o Peningkatan kadar plasma 5’-nukleotidase
Casino, Restaurant & Event Center, Las Vegas, NV - MapyRO
BalasHapusCasino, 과천 출장샵 Restaurant & Event Center Las 광양 출장안마 Vegas, 여주 출장샵 NV. 전라남도 출장샵 4.5 star rating 3,854 reviews Casino, Hotel, Events & More. Rating: 4.5 · 1,854 reviews 제주 출장마사지